Foto ilustrasi www.pexels.com |
Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki sifat kemandirian
dalam rangka bekerja untuk mencari rezeki. Islam pun melarang umatnya mengemis
selama ia mampu dan sanggup menghasilkan pendapatan melalui usaha dan tangannya
sendiri. Bahkan Allah memberikan posisi hina terhadap orang yang meminta-minta
dan mengemis tanpa mau berusaha dan bekerja dengan tangannya sendiri sedangkan
dia mampu. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda;
“Tidaklah sikap
meminta-minta terhadap diri seseorang di antara kalian, kecuali dia bertemu
dengan Allah, sementara di wajahnya tidak ada secuil daging pun,” (H.R. Muslim).
Dalam hadits yang lainnya namun menujukkan hal yang sama
Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam bersabda;
“Barangsiapa
yang mendapatkan kemiskinan dan mengadukannya kepada manusia, maka Allah tidak
akan menghilangkan kemiskinannya. Dan barangsiapa yang mengadukan kemiskinannya
kepada Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan kekayaan,” (H.R Ahmad
& Abu Dawud).
Allah tidak pernah melarang segala bentuk pekerjaan apapun
selama tidak ada dalil yang melarang perbuatan tersebut. Bahkan Rasulullah dulu pernah menjadi seorang penggembala kambing, dan itu merupakan pekerjaan
yang terhormat daripada kita harus melakukan perbuatan yang secara jelas
dilarang oleh Islam.
Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kegiatan
transaksi keuangan dalam memenuhi kebutuhan berkehidupan. Maka, islam pun
mengatur hal-hal tersebut supaya manusia tidak melampaui batas-batas apa yang
sudah menjadi batasan dalam hal tersebut. Segala bentuk transaksi pada asalnya hukumnya
adalah mubah, karena itu merupakan perkara muamalah, selama tidak ada hadits yang
melarangnya. Al-Ashlu fil asya’I
al-ibaakhah, segala bentuk perkara keduniaan hukum asalnya adalah mubah
(boleh). Kecuali terdapat dalil yang melarangnya.
Seperti babi, Islam telah melarang bahwa hukum
mengkonsumsi atau menjual belikan babi adalah haram. Ini adalah perkara
yang mutlaq dan tidak bisa kita sanggah dengan alasan apapun, Allah Ta'ala berfirman;
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan
bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha
Penyayang,” (Q.S. Al-Baqarah: 173).
Selain sesuatu yang haram secara hukum asal, ada pula sesuatu
yang haram karena proses mendapatkannya keluar dari jalur yang sudah ditentukan
oleh Allah. Terdapat beberapa kategori haram yang ada di dalam transaksi
atau jual beli, diantaranya adalah riba.
Riba, merupakan penambahan terhadap sesuatu yang terlarang
di dalam islam, karena mengandung hal-hal yang merugikan dan membahayakan pihak
lain. Allah dengan keras mengecam perbuatan riba ini di dalam Al-Qur’an, Allah
Ta'ala berfirman;
“Dan disebabkan mereka memakan
riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya,” (Q.S. An-Nissa:
161).
Allah sendiri sudah memperingatkan tentang dampak dari bahaya
riba bagi pelakunya, salah satunya dianggap menantang perang dengan Allah
dan Rasulullah, karena mereka disebut sebagai Musuh Allah dan Rasul-Nya,
Allah Ta'ala berfirman;
“Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya,”
(Q.S. Al-Baqarah: 279)
“Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu kamu tidak menganiyaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Perang merupakan dampak kejiwaan dan fisik. Sehingga jika
kita mengalami tertekan, depresi, stress dan gangguan jiwa yang lainnya bisa
jadi dikarenakan kita tidak peduli terhadap harta yang selama ini kita dapatkan
sedikit banyak tercampur dengan riba. Karena riba itu sendiri bisa bercampur
dengan harta kita tanpa kita sadari sedikitpun. Allahu a’lam. (AM)
0 comments:
Post a Comment