Foto ilustrasi www.pexels.com |
Oleh: Muhammad Irfan Islami
Apa saja benih-benih kehancuran itu? Pertama, lonjakan ekonomi itu sendiri. Lonjakan ini adalah gelembung semu (bubble) yang terjadi karena pertumbuhan harga aset yang tidak lagi terkait dengan nilai yang dikandungnya. Gelembung ini sudah menjadi ciri klasik kapitalisme selama berabad-abad.
Pada awal abad ke-17 terjadi demam bunga tulip di Belanda. Harga setangkai tulip melambungsampai setara dengan ribuan dolar. Setiap investor berkenan membayar harga itu karena YAKIN bisa menjualnya kembali ke pihak lain dengan harga yang lebih tinggi lagi.
Lonjakan macam ini didasari oleh kegairahan irasional (irasional exuberance) tertentu. Dan irasionalitas pasar tidak hanya terjadi dalam demam bunga tulip, tetapi juga saat investor bersedia membayar miliaran dolar untuk perusahaan yang tidak pernah bisa menunjukkan - dan sepertinya tidak akan pernah menghasilkan keuntungan. [Joseph E. Stiglitzh, Dekade Keserakahan Era '90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia, (Judul Asli : The Roaring Nineties), Margin Kiri, Serpong, 2006, halaman 10]
Saya kira Kanjeng Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam, tidaklah pas jika dipaksakan untuk mengenakan predikat-predikat kekinian-keduniawian semacam: presiden, panglima, ahli politik, filsuf. Apalagi sekedar seorang ekonom! Cukuplah predikat Rasulullah disandangnya.
"Bukanlah Muhammad itu bapak salah seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi” (Q.S Al Ahzab: 40)
Bagaimana penjelasannya? Mari kita ambil contoh dari dimensi ekonomi! Ihwal kapasitas dalam bidang ilmu ekonomi, bagaimana kita bisa menjamin Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. dapat mengetahui permasalahan ekonomi masyarakat dunia masa sekarang? Bagaimana kita bisa menganggap segala titah-titah beliau melalui Qur'an dan Sunnah menyangkut bidang ekonomi bisa kita taati sepenuhnya? Bukankah beliau seorang 'ummi? Jelas beda dengan Smith, Keynes, Friedman, Stiglitz, atau dedengkot ekonomi lain yang dalam CV-nya penuh dengan riwayat-riwayat pendidikan formal.
Bukankah kondisi perekonomian saat itu sangatlah terlokalisir, beda ekstrem dengan sekarang dimana dunia telah terglobalisir.
Bukankah saat itu transaksi ekonomi hanya via kafilah-kafilah penungga onta? Beda jauhlah dengan kondisi sekarang dimana transaksi dalam berjumlah miliaran US dollar dalam per detik lewat revolusi dunia informasi dan teknologi! Ah, pasti sekedar igauan siang bolong untuk menengok kembali teori ekonomi Nabi! Dan jikapun teorinya benar, pasti sekedar kebetulan saja. "Tidak ilmiah, tidak mengikuti proses seleksi metodelogis ketat yang dijadikan rujukan seluruh scientist dunia" begitu profesor botak Ekonomi berujar (silahkan cari info lebih lanjut mengenai ilmu dan science dan perubahan total maknanya yang dipahami umum saat ini; yang tentu akan berpengaruh pada konsep Ilmu Ekonomi vis a vis Economics Science).
Kembali pada kutipan artikel di atas, ijinkan penulis membandingkannya dengan fenomena detik-detik menuju krisi Subprime Mortgage. Aset-aset properti (baca: perumahan) mengalami bubble sedemikian rupa, sehingga tinggal menunggu waktu saja untuk kembali mengempis!
Inti dari kutipan artikel di atas berkisar pada bunga tulip sebagai komoditas dan irasionalitas pasar. Irasionalitas pasar juga berlaku pada komoditas Properti serta komoditas lain. Apakah para CEO perusahaan investasi, bank, asuransi yang ditengarai berdosa besar dalam krisis Subprime Mortgage itu tidak rasional?
Berbagai metodelogi dalam ilmu Manajemen Keuangan atau yang paling canggih pada ilmu Financial Engineering pasti telah dilalui oleh perusahaan tersebut. (Masalah ketidakterbukaan informasi oleh pihak perusahaan pada para pemegang saham tentu boleh kita perdalam di lain waktu).
Penulis hanya akan membahas masalah rasionalitas; baik dalam keputusan investasi di perusahaan atau sekedar keputusan apakah rasional Patrick Wanggai menendang tendangan bebas ke arah tiang dekat atau jauh.
Boleh jadi para pemegang saham ataupun Stiglitz memandang investasi tersebut irasional, sangat riskan dan berpeluang besar menuju kerugian, namun di lain pihak para CEO dengan para ahli manajemen keuangan dan financial engineering-nya menganggap investasi itu sangat rasional (karena telah melalui proses "seleksi metodelogis ketat yang dijadikan rujukan seluruh scientist dunia" yang telah disyaratkan profesor botak ekonomi)
Irasionalitas pasar; dengan kasus seperti di atas tentu akan terjadi terus menerus oleh karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan ekonomi dan finansial (entah, mengapa hal ini sesuai dengan aksioma di paham kapitalisme bahwa business cycle sepanjang sejarah tidak dapat diprediksi fluktuasinya)
Begitu pula dengan keputusan Patrick Wanggai untuk menendang tendangan bebas ke tiang jauh, boleh jadi kiper lawan menganggap hal itu tidak rasional.
Syahdan, ketika Patrick Wanggai menendang bola, kiper malah bergerak ke arah tiang dekat, dan... Gool!
Liarnya pemahaman kita pada sosok rasional ini, tentu secara langgeng akan menghantui benak kita; apalah yang bisa kita jadikan pegangan dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan, baik pribadi maupun sosial?
Biarkan pertanyaan itu saudara-saudara pembaca jawab sendiri dalam batin yang paling jernih dan dalam.
Sebelum artikel opini ini penulis tutup, sesungguhnya Kanjeng Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam telah memberi abstraksi mengenai permasalahan komoditas, irasionalitas pasar, spekulasi, dan peluang -salah satu pihak antara penjual maupun pembeli- untuk melakukan praktek kecurangan. Hal-hal tersebut merupakan variabel-variabel pendukung terjadinya economy bubble; yaitu seperti gelembung yang nilai luarannya (nominal) besar, tetapi jika ditusuk, nilai dalamannya (riil) kecil.
Hadis riwayat Ibnu Umar ra, Bahwa Rasulullah saw. melarang menjual buah-buahan sebelum tampak jadinya. Beliau melarang pihak penjual dan pembeli. (Shahih Muslim No.2827)
"Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (QS. Al-Baqarah: 275-279)
Mungkinkah kita dengar wejangan-wejangan yang terucap Kanjeng Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam yang bukan ekonom ini?
Pada awal abad ke-17 terjadi demam bunga tulip di Belanda. Harga setangkai tulip melambungsampai setara dengan ribuan dolar. Setiap investor berkenan membayar harga itu karena YAKIN bisa menjualnya kembali ke pihak lain dengan harga yang lebih tinggi lagi.
Lonjakan macam ini didasari oleh kegairahan irasional (irasional exuberance) tertentu. Dan irasionalitas pasar tidak hanya terjadi dalam demam bunga tulip, tetapi juga saat investor bersedia membayar miliaran dolar untuk perusahaan yang tidak pernah bisa menunjukkan - dan sepertinya tidak akan pernah menghasilkan keuntungan. [Joseph E. Stiglitzh, Dekade Keserakahan Era '90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia, (Judul Asli : The Roaring Nineties), Margin Kiri, Serpong, 2006, halaman 10]
Saya kira Kanjeng Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam, tidaklah pas jika dipaksakan untuk mengenakan predikat-predikat kekinian-keduniawian semacam: presiden, panglima, ahli politik, filsuf. Apalagi sekedar seorang ekonom! Cukuplah predikat Rasulullah disandangnya.
"Bukanlah Muhammad itu bapak salah seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi” (Q.S Al Ahzab: 40)
Bagaimana penjelasannya? Mari kita ambil contoh dari dimensi ekonomi! Ihwal kapasitas dalam bidang ilmu ekonomi, bagaimana kita bisa menjamin Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. dapat mengetahui permasalahan ekonomi masyarakat dunia masa sekarang? Bagaimana kita bisa menganggap segala titah-titah beliau melalui Qur'an dan Sunnah menyangkut bidang ekonomi bisa kita taati sepenuhnya? Bukankah beliau seorang 'ummi? Jelas beda dengan Smith, Keynes, Friedman, Stiglitz, atau dedengkot ekonomi lain yang dalam CV-nya penuh dengan riwayat-riwayat pendidikan formal.
Bukankah kondisi perekonomian saat itu sangatlah terlokalisir, beda ekstrem dengan sekarang dimana dunia telah terglobalisir.
Bukankah saat itu transaksi ekonomi hanya via kafilah-kafilah penungga onta? Beda jauhlah dengan kondisi sekarang dimana transaksi dalam berjumlah miliaran US dollar dalam per detik lewat revolusi dunia informasi dan teknologi! Ah, pasti sekedar igauan siang bolong untuk menengok kembali teori ekonomi Nabi! Dan jikapun teorinya benar, pasti sekedar kebetulan saja. "Tidak ilmiah, tidak mengikuti proses seleksi metodelogis ketat yang dijadikan rujukan seluruh scientist dunia" begitu profesor botak Ekonomi berujar (silahkan cari info lebih lanjut mengenai ilmu dan science dan perubahan total maknanya yang dipahami umum saat ini; yang tentu akan berpengaruh pada konsep Ilmu Ekonomi vis a vis Economics Science).
Kembali pada kutipan artikel di atas, ijinkan penulis membandingkannya dengan fenomena detik-detik menuju krisi Subprime Mortgage. Aset-aset properti (baca: perumahan) mengalami bubble sedemikian rupa, sehingga tinggal menunggu waktu saja untuk kembali mengempis!
Inti dari kutipan artikel di atas berkisar pada bunga tulip sebagai komoditas dan irasionalitas pasar. Irasionalitas pasar juga berlaku pada komoditas Properti serta komoditas lain. Apakah para CEO perusahaan investasi, bank, asuransi yang ditengarai berdosa besar dalam krisis Subprime Mortgage itu tidak rasional?
Berbagai metodelogi dalam ilmu Manajemen Keuangan atau yang paling canggih pada ilmu Financial Engineering pasti telah dilalui oleh perusahaan tersebut. (Masalah ketidakterbukaan informasi oleh pihak perusahaan pada para pemegang saham tentu boleh kita perdalam di lain waktu).
Penulis hanya akan membahas masalah rasionalitas; baik dalam keputusan investasi di perusahaan atau sekedar keputusan apakah rasional Patrick Wanggai menendang tendangan bebas ke arah tiang dekat atau jauh.
Boleh jadi para pemegang saham ataupun Stiglitz memandang investasi tersebut irasional, sangat riskan dan berpeluang besar menuju kerugian, namun di lain pihak para CEO dengan para ahli manajemen keuangan dan financial engineering-nya menganggap investasi itu sangat rasional (karena telah melalui proses "seleksi metodelogis ketat yang dijadikan rujukan seluruh scientist dunia" yang telah disyaratkan profesor botak ekonomi)
Irasionalitas pasar; dengan kasus seperti di atas tentu akan terjadi terus menerus oleh karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan ekonomi dan finansial (entah, mengapa hal ini sesuai dengan aksioma di paham kapitalisme bahwa business cycle sepanjang sejarah tidak dapat diprediksi fluktuasinya)
Begitu pula dengan keputusan Patrick Wanggai untuk menendang tendangan bebas ke tiang jauh, boleh jadi kiper lawan menganggap hal itu tidak rasional.
Syahdan, ketika Patrick Wanggai menendang bola, kiper malah bergerak ke arah tiang dekat, dan... Gool!
Liarnya pemahaman kita pada sosok rasional ini, tentu secara langgeng akan menghantui benak kita; apalah yang bisa kita jadikan pegangan dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan, baik pribadi maupun sosial?
Biarkan pertanyaan itu saudara-saudara pembaca jawab sendiri dalam batin yang paling jernih dan dalam.
Sebelum artikel opini ini penulis tutup, sesungguhnya Kanjeng Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam telah memberi abstraksi mengenai permasalahan komoditas, irasionalitas pasar, spekulasi, dan peluang -salah satu pihak antara penjual maupun pembeli- untuk melakukan praktek kecurangan. Hal-hal tersebut merupakan variabel-variabel pendukung terjadinya economy bubble; yaitu seperti gelembung yang nilai luarannya (nominal) besar, tetapi jika ditusuk, nilai dalamannya (riil) kecil.
Hadis riwayat Ibnu Umar ra, Bahwa Rasulullah saw. melarang menjual buah-buahan sebelum tampak jadinya. Beliau melarang pihak penjual dan pembeli. (Shahih Muslim No.2827)
"Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (QS. Al-Baqarah: 275-279)
Mungkinkah kita dengar wejangan-wejangan yang terucap Kanjeng Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam yang bukan ekonom ini?
0 comments:
Post a Comment