ads top

Percakapan Antar Generasi

Mohammad Natsir
(Moslemzone.com) Seperti biasa di setiap tahunnya masyarakat begitu antusias memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI), dan tahun ini masuk pada peringatan tahun yang ke-72. Kamis pagi, 17 Agustus 2017, saya membaca sebuah undangan di grup WA, ada kegiatan diskusi yang temanya berkaitan dengan kemerdekaan dan kepahlawanan dan bertempat di rumah Ust. Hadi Nur Ramadlan.

Akhirnya hari itu, saya agendakan untuk datang ke rumah beliau. Beliau merupakan alumni STID Moh. Natsir juga peneliti di bidang Ghazwul fikri Dewan Dakwah Pusat bersama Ust. H. T. Romly Qamaruddin. Diskusi tersebut diadakan di ruang perpustakaan beliau, yang di dalamnya banyak ragam literatur baik klasik maupun kontemporer, tulisan para tokoh dan ulama-ulama. Dan beliau namakan perpustakaannya dengan nama “Tamadun”.

Diskusi saat itu membedah buku “Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak”, yang disusun oleh kader-kader Mohammad Natsir. Kader-kader Pa Natsir ini merupakan anak-anak muda pada masa itu yang dikemudian hari menjadi tokoh-tokoh besar di masa sekarang. Mereka adalah M. Amien Rais, A.W. Praktinya (Alm), Kuntowijoyo (Alm), Yahya Muhaimin (Alm) dan Endang Saifuddin Anshari (Alm). Buku tersebut merupakan kumpulan wawancara mereka terhadap Pa Natsir, sekitar tahun 1986 s.d. 1987. Dapat disebut juga sebagai forum belajar mereka, percakapan dan obrolan bapak dengan “anak-anaknya.”

Dalam diskusi kami tentang buku tersebut, Ust. Hadi membedah satu per satu poin-poin penting yang dapat dipetik. Kami pun bersyukur dibersamai Ust. Abdurrahman, beliau salah satu saksi hidup yang sempat bertemu dengan Pa Natsir dan banyak berinteraksi dengan kader-kader terdekat Pa Natsir. Sehingga wacana dan wawasan dalam diskusi tersebut semakin lengkap dan mendalam. Selain dari apa yang dituangkan di dalam buku tersebut, juga pengalaman Ust. Abdurrahman pula yang seolah-olah Pak Natsir dan perjuangannya hidup dan hadir di tengah kami.

Salah satu bahasan yang menarik bagi saya adalah tentang kebangkitan Islam. Bagaimana Pa Natsir berupaya dengan perjuangannya melepaskan umat Islam, khususnya di Indonesia dari Inferiority Complex. Inferiority Complex secara sederhana dapat dipahami dimana kondisi umat Islam begitu terpesona dan memuja-muja bangsa lain, khususnya orang-orang barat yang notabene mayoritas non muslim.

Umat Islam merasa kecil dan tak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Kata Pak Natsir, kondisi ini merupakan dampak dari penjajahan yang berkepanjangan terhadap umat Islam, khususnya di Indonesia, sehingga umat Islam tidak mau bangkit dan beranjak dari keterpurukan dan merasa mustahil bersaing dengan orang-orang barat.

Pembahasan menarik lainnya adalah tentang generasi muda. Pak Natsir menghimbau agar angkatan muda mencoba mengadakan pertemuan, mengkaji persoalan yang ada secara serius, tidak perlu gembar-gembor. Anak muda perlu bertemu untuk sama-sama menganalisis situasi dan kemudian mengembangkan kesamaan persepsi, sehingga perjuangan menjadi lebih teratur dan terarah, tidak banyak membuang waktu dan tenaga secara percuma.

Hari ini, kita bisa saksikan suasana tersebut sangat jarang dan langka dikalangan anak muda. Banyak dari mereka yang telah terjangkit budaya hedonisme dan pragmatisme, sehingga ketika ada yang berbicara serius tentang suatu permasalahan yang terjadi di masyarakat, ia dianggap orang yang bodoh dan kurang kerjaan serta membuang-buang waktu, pikiran dan tenaga, karena tak ada manfaat dan keuntungannya bagi kehidupan pribadi mereka.

Semakin banyak kita membaca dan menelusuri perjalanan dan perjuangan para tokoh dan ulama, semakin kita malu pada diri sendiri. Lelah dan letih kita pada hari ini belum berarti apa-apa. Kita pun akan malu melabeli diri seorang mujahid dakwah dengan perjuangan kita hari ini, jikalau mengetahui bagaimana perjuangan anak-anak muda di masa para tokoh dan ulama kita hidup. Kita seolah telah menempuh perjalanan jauh dan panjang dalam berjuang, padahal kita belum berjalan kemana-mana.

Salah satu adab kita terhadap para pejuang, pahlawan dan para ulama adalah dengan mengenal perjalanan hidup dan perjuangan mereka. Ust. Hadi memberi pesan di akhir diskusi, bahwa sebaiknya para aktivis dakwah harus mampu memahami turats (kitab-kitab ulama) dan juga sejarah konteks keindonesiaan. Sebab tidak sedikit, mereka yang memahami turats, tetapi tidak paham kondisi. Ataupun sebaliknya, memahami kondisi, tetapi tidak paham terhadap turats.

Dr. Imam Zamroji, Dosen mata kuliah SDI Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Moh. Natsir, mengistilahkan kedua hal tersebut dengan Fiqhud Dalil (Turat) dan Fiqhul Waqi’ (sejarah dan realita). Kalaupun tidak bisa mengakomodir keduanya sekaligus, paling tidak para aktivis dakwah saling melengkapi dan bersinergi dalam perjuangan.

Momen diskusi ini, bagi saya merupakan bagian dari percakapan antar generasi, memberi pencerahan kepada saya bahwa peringatan hari kemerdekaan maupun hari pahlawan harus disikapi dengan baik oleh angkatan muda. Dengan mengenal perjuangan mereka, maka kita bisa mengetahui ke depan apa yang mesti dilakukan. Sebab perjuangan ini mesti terus dilanjutkan secara estafet. Kalau kita luput mengetahuinya, maka luput pula untuk meneladani bagian demi bagian dari perjuangan mereka.

Dengan mengetahui dan memahami perjuangan para tokoh dan ulama kita, paling tidak sedikit mengurangi rasa lelah dan letih dalam perjuangan serta memberi angin segar untuk lebih serius serta benar-benar memahami permasalahan yang terjadi sehingga waktu, pikiran dan tenaga digunakan secara maksimal dalam perjuangan. Karena perjalanan begitu panjang, keyakinan yang harus selalu ditancapkan bahwa pertolongan Allah senantiasa membersamai orang-orang yang menolong agamanya.

(Haris Zulfikar, Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah Mohammad Natsir)
Bagikan! Bagikan! Bagikan! Bagikan!

About Redaksi

0 comments:

Post a Comment