Pertanyaan:
Assalamu'alaikum ustadz. Dalam beberapa keterangan disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berkurban 2 ekor kambing, yang satu diniatkan untuk dirinya dan keluarganya, yang kedua untuk ummatnya, bagaimana dengan kita yang berkurban dengan sapi tapi untuk 7 orang?
Pertanyaan kedua, bagaimana hukum menjual kulit kambing atau sapi lalu uangnya dipergunakan untuk membayar yg mengurus kurban?
Bapak Masrial - Bogor
Jawaban:
Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillah, Washshalatu Wassalamu Ala Rasulillah Wa 'Ala Aalihi Washahbihi Wa Man Waalah, Amma Ba'du...
Terkait dengan pertanyaan pertama, terdapat riwayat khusus mengenai hal itu:
Dari Jabir Radhiyallahu Anhu ia berkata: "Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam keadaan berihram dengan niat haji, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan kami untuk bersekutu dalam onta-onta dan sapi-sapi. Setiap tujuh orang dari kami (bersekutu) dalam satu ekor onta." H.S.R. Muslim No. 2331.
Maka, setiap mudhahhi (yang berkurban) dari 7 orang yang bersekutu tersebut tinggal meniatkan kurbannya untuk dirinya dan keluarganya masing-masing, karena sepertujuh dari sapi kurban tersebut setara dengan seekor kambing kurban yang disembelih sendiri-sendiri.
Terkait dengan pertanyaan kedua, maka perlu diperinci siapa yang menjual.
Bila yang menjual adalah orang yang menerimanya (mustahiqnya) maka ini tidak mengapa karena yang menerima daging atau kulit kurban tersebut memilikinya dengan cara yang halal dan ia diperbolehkan melakukan apapun terhadap barang yang ia miliki sesuai dengan aturan syariat termasuk menjualnya.
Bila yang menjual adalah yang berkurban (mudhahhi), maka dalam hal ini ada tiga pendapat dari ulama:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu ia berkata: "Telah berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam: (Barang siapa menjual kulit hewan kurbannya maka tidak ada kurban baginya)." Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi.
Dalam hadits ini terdapat rawi bernama Abdullah bin Ayyasy Al-Qaththabbani Al-Misri yang diperselisihkan ulama tentang kelemahannya. Al-Hakim menshahihkannya dalam kitab Al-Mustadrak, namun Adz-Dzahabi dalam Al-Muhadzdzab menyatakan bahwa Abdullah bin Ayyasy dilemahkan oleh Abu Dawud. Sedangkan Al-Albani menyimpulkan dalam Shahih Al-Jami' bahwa hadits ini derajatnya Hasan sebagaimana disebutkan pula dalam Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib No. 1088.
Dengan demikian pendapat yang melarang secara mutlak lebih kuat dari pendapat yang lain karena didukung oleh hadits.
Adapun pendapat kedua yang mengecualikan barter, maka ini secara otomatis tertolak karena sistem barter dalam Islam termasuk dalam lingkup definisi jual beli (bai') yang secara bahasa berarti pertukaran secara mutlak, yaitu apa saja dengan apa saja, sedang secara istilah para ulama mendefinisikannya dengan ungkapan:
"Pertukaran harta dengan harta dengan tujuan memindahkan kepemilikan dan mengambil kepemilikan."
Maka barter jelas termasuk dalam ranah jual beli sehingga hukum membarter kulit hewan kurban dengan yang lainnya adalah terlarang karena sama dengan menjualnya.
Adapun pendapat terakhir yang menyatakan bolehnya menjual kulit hewan kurban secara mutlak, maka pendapat ini pun secara otomatis gugur karena bertentangan dengan nash hadits yang melarang jual beli kulit hewan kurban yang sudah kami sebutkan di atas.
Sehingga pendapat yang terkuat adalah pendapat yang menyatakan haramnya mudhahhi atau shahibul qurban menjual kulit hewan kurban secara mutlak. Dan bila tetap dilakukan, maka kurbannya dianggap batal dan berubah menjadi penyembelihan biasa.
Kemudian, terkait dengan hukum membayar tukang jagal menggunakan uang dari hasil penjualan kulit hewan kurban, maka ini sebenarnya merupakan anak pertanyaan dari hukum menjual kulit hewan kurban di atas.
Para fuqaha' menyatakan: At-Taabi'u Taabi' yang artinya: "Sesuatu yang mengikuti maka hukumnya mengikuti juga." Sehingga bila penjualan kulit hewan kurban adalah terlarang, maka memberikannya kepada tukang jagal atau pengurus hewan kurban sebagai upahnya juga terlarang.
Apalagi bila kita perhatikan hadits berikut ini:
Dari Ali Radhiyallahu Anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah memerintahkan aku untuk mengurus onta-onta beliau dan agar aku bersedekah dengan daging-dagingnya, kulit-kulitnya, penutup-penutup punggungnya dan agar aku tidak memberikan kepada tukang jagalnya (upah) darinya." Ia berkata: "Kami memberinya (upah) dari diri kami (sendiri)." H.S.R. Muslim No. 2328.
Maka semakin jelas terlarangnya memberi upah tukang jagal, baik dari kulit, daging atau bagian apapun dari hewan kurban, baik secara langsung ataupun dijual terlebih dahulu.
Demikian, wallahu a'lam bish shawab.
Fatahillah, Lc.
(Pengampu mata kuliah Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah di Ma'had Ibnu Hajar Al-Asqalani Sukabumi)
Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillah, Washshalatu Wassalamu Ala Rasulillah Wa 'Ala Aalihi Washahbihi Wa Man Waalah, Amma Ba'du...
Terkait dengan pertanyaan pertama, terdapat riwayat khusus mengenai hal itu:
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُهِلِّينَ بِالْحَجِّ فَأَمَرَنَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِكَ فِي الإِبِلِ وَالْبَقَرِ كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَدَنَةٍ. رواه مسلم.
Maka, setiap mudhahhi (yang berkurban) dari 7 orang yang bersekutu tersebut tinggal meniatkan kurbannya untuk dirinya dan keluarganya masing-masing, karena sepertujuh dari sapi kurban tersebut setara dengan seekor kambing kurban yang disembelih sendiri-sendiri.
Terkait dengan pertanyaan kedua, maka perlu diperinci siapa yang menjual.
Bila yang menjual adalah orang yang menerimanya (mustahiqnya) maka ini tidak mengapa karena yang menerima daging atau kulit kurban tersebut memilikinya dengan cara yang halal dan ia diperbolehkan melakukan apapun terhadap barang yang ia miliki sesuai dengan aturan syariat termasuk menjualnya.
Bila yang menjual adalah yang berkurban (mudhahhi), maka dalam hal ini ada tiga pendapat dari ulama:
- Haram secara mutlak.
- Haram, kecuali bila ditukar dengan benda lain selain uang (barter).
- Boleh secara mutlak.
عَن أَبِي هُرَيرَةَ رَضِي اللهُ عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: (مَن بَاعَ جِلدَ أُضحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ
لَهُ). رواه الحاكم في المستدرك برقم 3468، والبيهقي في الكبرى برقم 19771.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu ia berkata: "Telah berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam: (Barang siapa menjual kulit hewan kurbannya maka tidak ada kurban baginya)." Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi.
Dalam hadits ini terdapat rawi bernama Abdullah bin Ayyasy Al-Qaththabbani Al-Misri yang diperselisihkan ulama tentang kelemahannya. Al-Hakim menshahihkannya dalam kitab Al-Mustadrak, namun Adz-Dzahabi dalam Al-Muhadzdzab menyatakan bahwa Abdullah bin Ayyasy dilemahkan oleh Abu Dawud. Sedangkan Al-Albani menyimpulkan dalam Shahih Al-Jami' bahwa hadits ini derajatnya Hasan sebagaimana disebutkan pula dalam Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib No. 1088.
Dengan demikian pendapat yang melarang secara mutlak lebih kuat dari pendapat yang lain karena didukung oleh hadits.
Adapun pendapat kedua yang mengecualikan barter, maka ini secara otomatis tertolak karena sistem barter dalam Islam termasuk dalam lingkup definisi jual beli (bai') yang secara bahasa berarti pertukaran secara mutlak, yaitu apa saja dengan apa saja, sedang secara istilah para ulama mendefinisikannya dengan ungkapan:
مُبَادَلَةِ الماَلِ بِالماَلِ تَملِيكاً وَتَمَلُّكاً
Maka barter jelas termasuk dalam ranah jual beli sehingga hukum membarter kulit hewan kurban dengan yang lainnya adalah terlarang karena sama dengan menjualnya.
Adapun pendapat terakhir yang menyatakan bolehnya menjual kulit hewan kurban secara mutlak, maka pendapat ini pun secara otomatis gugur karena bertentangan dengan nash hadits yang melarang jual beli kulit hewan kurban yang sudah kami sebutkan di atas.
Sehingga pendapat yang terkuat adalah pendapat yang menyatakan haramnya mudhahhi atau shahibul qurban menjual kulit hewan kurban secara mutlak. Dan bila tetap dilakukan, maka kurbannya dianggap batal dan berubah menjadi penyembelihan biasa.
Kemudian, terkait dengan hukum membayar tukang jagal menggunakan uang dari hasil penjualan kulit hewan kurban, maka ini sebenarnya merupakan anak pertanyaan dari hukum menjual kulit hewan kurban di atas.
Para fuqaha' menyatakan: At-Taabi'u Taabi' yang artinya: "Sesuatu yang mengikuti maka hukumnya mengikuti juga." Sehingga bila penjualan kulit hewan kurban adalah terlarang, maka memberikannya kepada tukang jagal atau pengurus hewan kurban sebagai upahnya juga terlarang.
Apalagi bila kita perhatikan hadits berikut ini:
عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: " أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ
بِلَحْمِهَا، وَجُلُودِهَا، وَأَجِلَّتِهَا، وَأَنْ لاَ أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا،
قَالَ: نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عَنْدِنَا." رواه مسلم حديث رقم 2328.
Maka semakin jelas terlarangnya memberi upah tukang jagal, baik dari kulit, daging atau bagian apapun dari hewan kurban, baik secara langsung ataupun dijual terlebih dahulu.
Demikian, wallahu a'lam bish shawab.
Fatahillah, Lc.
(Pengampu mata kuliah Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah di Ma'had Ibnu Hajar Al-Asqalani Sukabumi)
0 comments:
Post a Comment