Oleh : Zakariya Hidayatullah (Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah Mohammad Natsir)
Entah disadari atau tidak, sejak 15 tahun terakhir masyarakat dari berbagai kalangan tengah
menikmati tontonan berupa hiburan di televisi. Mulai dari anak kecil, remaja,
dewasa bahkan orang tua seakan terlena dengan program-program yang kelihatannya
dapat menghilangkan penat dan stress yang dihadapi kala sibuk bekerja.
Kotak kecil yang dapat mengeluarkan audio serta visual yang menarik
ini, semakin hari bukan hanya menampilkan murni program-program hiburan, tetapi
mensisipkan secara halus tentang idiologi yang dapat merubah pola pikir
seseorang dalam waktu jangka panjang.
Perkara yang pada asalnya merupakan aib atau perbuatan yang tak
layak untuk diperlihatkan kepada khalayak publik, melalui hiburan dan program
TV perlahan akan berubah menjadi sebuah trand yang pasti akan di ikuti oleh
sebagian masyarakat. Atau jika memakai asumsi yang lain, meski tak akan diikuti
oleh masyarakat, minimal sebagian besar orang dapat menerima aib tersebut
sebagai hal yang lumrah dan biasa saja.
Hal inilah yang saat ini tengah membanjiri program televisi di
Indonesia. Beberapa tahun terakhir berkembang berbagai acara yang dianggap
sebagai hiburan alternatif.
Acara gosip-gosip mengenai kehidupan selebritis tanah air, sinetron-sinetron yang tak mendidik bahkan cenderung menampilakn adegan kekerasan dan pergaulan bebas, dan
masih banyak program TV lain yang sering menampilkan gaya cowok yang
berperilaku feminim, akting sebagai
waria (wanita pria), bahkan berpura-pura menjadi homoseksual.
Sudah barang tentu, khalayak Indonesia pasti menikmati program
komedi tersebut meski tidak ada sama sekali edukasi dalam kontennya, asal bisa
tertawa terbahak-bahak, maka masyarakat akan menjadi penonton yang setia.
Yang menikmati pun tak hanya penonton yang pada dasarnya mereka
secara tidak langsung telah menjadi buruh gratis Televisi. Dengan mencari
rating yang tinggi dan bukti bahwa program tersebut laris di pasaran, maka
pihak stasiun TV pun melakukan berbagai upaya agar para pemirsanya tak kecewa
sehingga berusaha untuk membuat berbagai lelucon dengan menampilkan trand artis
berfashion “bencong”.
Sebenarnya yang menjadi sorotan dalam tulisan ini tak hanya
komedian dengan mode bergaya waria saja yang menjadi jualan utama stasiun TV,
komedi lepas alias melawak tanpa seratus persen mengacu kepada script kebanyakan
masih menampilkan berbagai kesalahan fatal. Seperti adegan ejekan terhadap
kondisi fisik tertentu, melakukan cemoohan dan celaan, bahkan fitnah untuk
melucu pun harus dilakukan.
Tentu jika kita memperhatikan kondisi umat Islam Indonesia, maka
muncul kekhawatiran tentang generasi muda mendatang. Jika saat ini saja sudah
banyak pemuda dan pemudi Islam tergerus arus virus Televisi, bagaimana dengan
anak cucu kita kelak. Apalagi belum banyak program penyeimbang yang dapat
mengcounter acara-acara tersebut.
Mengembalikan persoalan tersebut kepada syari’at agama Islam, sudah
barang tentu acara yang berbentuk memfitnah orang lain, mencela kondisi fisik
tertentu, bergaya waria, menampilkan sosok bintang maksiat merupakan sebuah
pencederaan terhadap nilai-nilai syari’at.
Membendungnya pun tak bisa dilakukan oleh para da’i saja, apalagi
hanya dilakukan secara terbatas di mimbar-mimbar masjid atau di majlis ta’lim,
tapi bagaimana sasaran utama untuk membendung efek tak mendidik dari acara
televisi adalah para orang tua. Karena jika para orang tua saja menikmati
program tak mendidik tersebut sebagai sebuah tontonan keluarga, maka bagimana
bisa kelak generasi yang akan datang tersadarkan dan tidak tercuci otaknya oleh
idiologi liberal yang di tampilkan oleh berbagai acara TV.
Selain itu, perlunya kontrol dari masyarakat agar dapat bersifat
kritis terhadap konten televisi dengan cara menyampaikan kritikan kepada pihak
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), karena hal inilah yang secara efektif dapa
sedikit mengendalikan program yang sudah terlewat batas dalam mencari rating TV
dengan berbagai acara. Meski dalam hal inipun KPI tidak bisa pure bisa
membatasi seluruh konten yang ada di layar televisi.
Seperti itulah problematika yang dihadapi muslim Indonesia yang
saat ini masih belum mempunyai sebuah media nasional yang dapat dijadikan rujukan alternatif bagi para
pemirsa, tentu ketidak punyaan akan sebuah media bukan menjadi sebuah alasan
untuk tidak melakukan nahy munkar dan membendung acara-acara TV yang dapat
merusak pola pikir anak bangsa. Memanfaatkan media lain seperti internet, media
cetak, radio dan lembaga Komisi Penyiaran Indonesia menjadi sebuah bentuk jihad
seorang Muslim dalam kancah Al’Ghazwul I’lamiyyah (Perang Media) di
Indonesia. Allahu A’lamu Bish Shawab.
0 comments:
Post a Comment